Buddha Awatara
Dalam agama Hindu, Gautama Buddha muncul dalam kitab Purana (Susastra Hindu) sebagai awatara (inkarnasi) kesembilan di antara sepuluh awatara (Dasawatara) Dewa Wisnu. Dalam Bhagawatapurana, Beliau disebut sebagai awatara kedua puluh empat di antara dua puluh lima awatara Wisnu. Katabuddha berarti "Dia yang mendapat pencerahan" dan dapat mengacu kepada Buddha lainnya selain Gautama Buddha, pendiri Buddhisme yang dikenal pada masa sekarang.
Berbeda dengan ajaran Hindu, ajaran Gautama Buddha tidak menekankan keberadaan "Tuhan sang Pencipta" sehingga agama Buddha termasuk bagian dari salah satu aliran nāstika (heterodoks; secara harfiah berarti "Itu tidak ada") menurut aliran-aliran agama Dharma lainnya, seperti Dwaita. Namun beberapa aliran lainnya, seperti Adwaita, sangat mirip dengan ajaran Buddhisme, baik bentuk maupun filsafatnya.
Buddha dalam Sastra Hindu
Sang Buddha disebutkan dalam beberapa kitab Hindu, termasuk dalam hampir seluruh Purana. Bagaimanapun, tidak semuanya mengacu kepada orang (Buddha) yang sama, mengingat bahwa Buddha tidak hanya satu; beberapa di antaranya mengacu kepada orang lain, dan beberapa penyebutan kata "buddha" hanya berarti "seseorang yang memiliki buddhi." Kebanyakan dari penggunaan kata "buddha" tersebut mengacu kepada pendiri Buddhisme (Siddhartha Gautama). Purana mendeskripsikannya dengan dua peran: menyebarkan ajaran palsu untuk menyesatkan kaum asura (makhluk sesat, penentang dewa) dan semacamnya, dan mengkritik pengorbanan binatang seperti yang sudah ditentukan dalam Weda. Kitab Purana yang menyatakan Buddha termasuk dalam daftar awatara, yaitu:
|
|
Dalam kitab Purana, biasanya Buddha disebut sebagai awatara kesembilan di antara sepuluh awatara Wisnu. Seringkali Buddha disebut sebagai seorang yogi atau yogācārya, dan sebagai sanyasin (petapa). Biasanya ayahnya disebut Suddhodhana, sama dengan tradisi Buddhisme, sementara dalam kitab lainnya ayah Sang Buddha disebut Anjana atau Jina. Sang Buddha digambarkan sebagai sosok rupawan (devasundara-rūpa), dengan kulit putih atau merah pucat, dan memakai jubah merah atau merah-coklat.
Dalam berbagai Purana, Sang Buddha dijelaskan sebagai seorang penjelmaan Wisnu yang turun ke dunia untuk menyesatkan kaum asura maupun manusia dari ajaran dharma Weda. Kitab Bhawishyapurana menyatakan sebagai berikut:
Di masa ini, mengingat saatnya Zaman Kali (kegelapan), Dewa Wisnu menjelma sebagai Gautama, seorang Shakyamuni, dan mengajarkan dharma Buddha selama sepuluh tahun. Kemudian Shuddhodana memerintah selama dua puluh tahun, dan Shakyasimha selama dua puluh tahun. Pada tahap pertama Zaman Kali, jalan Weda dihancurkan dan seluruh pria menjadi umat Buddha. Orang-orang yang mencari perlindungan kepada Wisnu telah menjadi sesat.
Menurut Wendy Doniger, Buddha awatara yang muncul dalam versi berbeda-beda dalam berbagai Purana mungkin menggambarkan usaha kaum Brahmanisme Ortodoks untuk memfitnah kaum Buddhis dengan menyamakan mereka dengan kaum asura (raksasa; makhluk sesat). Helmuth von Glasenapp menghubungkan perkembangan ini dengan niat umat Hindu untuk menyerap Buddhisme dengan cara yang damai, baik untuk mengarahkan kaum Buddhis menuju Waisnawa maupun untuk menceritakan fakta bahwa tindakan bidah semacam itu dapat terjadi di India.
Buddha Sebagai Awatara Wisnu
Karena keragaman tradisi dalam agama Hindu, tidak ada sudut pandang tertentu atau kesepakatan tentang peran Sang Buddha yang resmi. Sudut pandang bahwa Buddha sebagai awatara yang menganjurkan tindakan tanpa kekerasan (ahimsa) masih menjadi kepercayaan populer di antara sejumlah organisasi Waisnawa masa kini, termasuk ISKCON. Pada bagianDasavatara sotra dalam Gita Govinda, seorang penyair Waisnawa mahsyur, Jayadeva Goswami (1200 M) memasukan Buddha di antara sepuluh awatara utama Wisnu dan menulis sebuah doa tentang Beliau sebagai berikut:
"Oh Kesawa (Wisnu)! Wahai Tuhan alam semesta! Wahai Dewa Hari, yang telah menjelma sebagai Buddha! Semua kemuliaan milik-Mu! Oh Buddha berhati penuh kasih, Engkau menentang penyembelihan hewan malang yang dilakukan menurut aturan Weda".
Ada sekte Waisnawa di Maharashtra, yang dikenal sebagai Warkari, yang menyembah Dewa Witoba (juga dikenal sebagai Witala, Pandurangga). Meskipun umumnya Witoba dianggap sebagai manifestasi Kresna kecil, ada keyakinan yang mendalam sejak berabad-abad bahwa Withoba adalah suatu manifestasi Buddha. Banyak penyair suci Maharashtra (seperti Eknath, Namdev, Tukaram, dll.) secara eksplisit menyebutnya sebagai Buddha, walaupun banyak kaum neo-Buddhis (Ambedkari) dan sarjana barat yang cenderung menolak pendapat tersebut. Sosok Witoba sebagai awatara Wisnu mungkin telah disamakan dengan Buddha dalam upaya untuk mengasimilasi Buddhisme ke dalam tradisi Hindu. Ajaran Buddha juga telah dimasukkan dalam Waisnawa Warkari dan telah terintegrasi dengan filosofi tradisional Weda secara unik.
Salah satu kitab Hindu yang menyebutkan kehadiran Buddha sebagai penjelmaan Tuhan (Wisnu) adalah Bhagawatapurana. Dalam kitab tersebut diuraikan penjelmaan Tuhan dari zaman ke zaman dan kehadiran Sang Buddha disebut setelah kemunculan Balarama dan Kresna. Seperti yang disebutkan dalam kitab tersebut, Sang Buddha terlahir pada Zaman Kali(zaman kegelapan) untuk menyesatkan musuh para pemuja Tuhan:
Tataḥ kalau sampravṛtte sammohāya sura-dviṣām । buddho nāmnāñjana-sutaḥ kīkaṭeṣu bhaviṣyati ॥ — Srimadbhagawatam (1:3:24)
Terjemahan
Maka, pada permulaan Kaliyuga [Beliau] akan terlahir sebagai Buddha, putra Anjana, di Kikata (Bihar), untuk menyesatkan siapa saja yang menjadi musuh para pemuja Tuhan.
Stephen Knapp, penulis buku The Secret Teachings of the Vedas menyatakan bahwa sloka tersebut tidak akurat bila disimak secara harfiah, mengingat bahwa Siddhartha Gautama lahir di Taman Lumbini (Nepal), dan ibunya bernama Mahamaya. Sesungguhnya Siddhartha menjadi Buddha di Bodh Gaya, negara bagian Bihar. Ibunya wafat saat ia masih kecil sehingga ia diasuh neneknya, Anjana. Maka dari itu, prediksi dalam sloka dari Bhagawatapurana dapat dibenarkan.
Menurut kepercayaan Hindu populer, pada zaman Kaliyuga, masyarakat menjadi bodoh akan nilai-nilai rohani dan kehidupan. Ada suatu kepercayaan bahwa pada kedatangan Sang Buddha, banyak brahmana di India yang menyalahgunakan upacara Weda demi kepuasan nafsunya sendiri, dan melakukan pengorbanan binatang yang sia-sia dan tiada berguna. Maka dari itu, Buddha muncul sebagai seorang awatara untuk memulihkan keseimbangan.
Gautama Buddha lahir sebagai Pangeran Siddhartha Gautama, putra Raja Suddhodana, sekitar abad ke-6 SM. Suddhodana sangat mengharapkan Siddhartha menjadi Cakrawarti (Maharaja Dunia), namun pikirannya dibayang-bayangi oleh ramalan petapa Kondanna yang mengatakan bahwa Siddhartha akan menjadi Buddha karena melihat empat hal: orang sakit, orang tua, orang mati, dan pertapa. Karena tidak mau anaknya menjadi Buddha, keempat hal tersebut selalu berusaha ditutupi olah Suddhodana. Ia tidak akan membiarkan sesuatu yang bersifat sakit, tua, mati, dan pertapa suci dilihat oleh Siddhartha. Siddhartha sudah ditakdirkan untuk menjadi seorang Buddha sehingga ramalan pertapa Kondanna menjadi kenyataan. Keinginan Siddhartha untuk mendapat pencerahan (yang mengantarnya menjadi Buddha) terlintas ketika ia melihat empat hal tersebut. Pikirannya terbuka untuk mencari obat penawar sakit, tua, dan mati. Akhirnya ia memutuskan untuk menjadi pertapa dan berkeliling mencari pertapa-pertapa terkenal dan mengikuti ajaran mereka, namun semuanya tidak membuat Siddhartha puas. Akhirnya ia menemukan pencerahan ketika bertapa di bawah Pohon bodhi di Bodh Gaya pada malam Purnama Sidhi bulan Waisak.
Oleh umat Hindu, Siddhartha dihormati dan diyakini sebagai salah satu penjelmaan (awatara) Wisnu. Dalam beberapa tradisi Hinduisme, Rama dan Kresna yang merupakan awatara juga dipuja sebagai dewa bahkan sebagai Tuhan, namun Sang Buddha yang juga merupakan awatara tidak dipuja dalam Hindu selayaknya awatara yang lain. Sang Buddha menolak diterapkannya lembaga kasta dan upacara-upacara dalam Weda, serta tidak mengakui kewenangan kitab Weda, sehingga ajaran Beliau menjadi agama tersendiri.
No comments:
Post a Comment
Berikan Komentar Anda untuk membangun Blog ini ke arah lebih baik.